Senin, 06 April 2009

Salto Mortal?, I Don't Think So


Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan artikel yang menarik saya untuk membacanya. Judulnya adalah Salto Mortal karya Gunawan Budi Susanto. Dalam artikel tersebut ia mengungkapkan pendapatnya mengenai mendem, pendapat yang berupa kritikan pedas terhadap keluarga Toer (khusunya Soesilo Toer), PATABA, dan Komunitas Pasang Surut mengenai acara 1000 wajah Pram Dalam Kata dan Sketsa, yang disisipi itu dengan itu tadi; mendem.
Dalam permulaan artikelnya ia menulis; “dulu, saat remaja, saya jadi peminum”, tapi sekarang? Kita tahu kalau dia (sudah) bisa dikatakan sebagai penulis. Menurut saya, kalau dulu ia tidak mendem mungkin sekarang ia tak akan seperti sekarang ini. Keadaan kita sekarang ini adalah pencerminan dari masa lalu. Setiap orang memiliki pencerahan yang berbeda-beda. Ada yang mendapatkannya ketika masih kecil, remaja, dewasa, atau mungkin tua, tetapi ada juga yang tidak mendapatkannya. Pencerahan seseorang bisa diperoleh dari kelakuan buruk di masa lalu, bisa juga karena “perjuangan”. Kita, setiap “manusia” tidak bisa menentukan kapan datangnya pencerahan tersebut ataupun memaksakan pencerahan tersebut kepada orang lain. Pencerahan akan datang dengan sendirinya ketika “manusia” tersebut sadar.
Mas Gun pasti tahu di dunia ini manusia lahir dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dan sekali lagi, kita tidak bisa “menuntut” bakat yang kita inginkan dari Sang Maha Pencipta. Apabila ada orang yang salah satu kelebihannya sangat menonjol, tentu ia memiliki banyak kekurangan, begitupun sebaliknya. Bahasa gaulnya: nobody is perfect. Begitupun bung Pram, kita semua tahu mengakui ia adalah penulis terbesar di Indonesia sampai saat ini (siapa yang bisa menandinginya?), tapi ia juga punya kelemahan seperti kita. Dia penulis nomor satu jika menggunakan mesin tik, tapi ia tidak bisa melaksanakan “tugas nasional”-nya menggunakan komputer apalagi menggunakan tank top, eh maksudnya laptop. Selain itu, ada juga orang yang “besar” tetapi memiliki kelakuan atau sifat yang menyimpang atau aneh. Tak usah jauh-jauh, lagi-lagi Pram, dia adalah penulis dengan reputasi mendunia, tapi kerjaan sampingannya adalah membakar sampah. Semua itu seolah sudah menjadi hukum alam. Hal inipun dapat kita lihat pada karya-karyanya, yang menurut saya “manusiawi”. Sosok Minke misalnya, ia adalah seorang yang berpandangan maju, pintar, pandai merangkai kata, tapi ia adalah juga seorang phyloginik.
Mas Gun, kalau anda “memvonis” pram adalah seorang komunis, menurut saya di satu sisi itu benar, tapi di lain sisi juga salah. Benar karena dirinya adalah seorang individualis, dan salah karena ia adalah juga seorang humanis. Kedua hal ini yang bersinergi melahirkan satu “aliran” yang oleh para penggemarnya disebut dengan Pramis. Itu menurut pendapat saya loh Mas Gun, terserah apa kata anda. Bagi saya itu tidak penting, tapi tetap akan saya hargai. Toh, fakta membuktikan, ia bisa menjadi “besar” dengan paham yang menurut anda adalah dajal laknat, leletheking jagad, gelah gelahing bumi dan sejahat-jahat manusia.
Kita semua tahu Bung Pram adalah orang yang menjunjung tinggi kebebasan, termasuki juga (mungkin) mendem, jadi kalau dia masih ada sekarang mungkin juga ia tidak akan menyetujui sikap dan pendapat anda, jadi jangan berkecil hati. Terima kekalahan anda dengan berbesar hati dan lapang dada. Ikhlaslah menerima kekalahan.

Blora, 29 Maret 2009
02:07