Sabtu, 28 Maret 2009

Surat Untuk Mendiknas


Tiga Hari Untuk Selamanya, sebuah judul film karya Riri Reza tentang perjalanan dua anak muda dari Jakarta ke Jogjakarta selama tiga hari yang bercerita tentang kegelisahan menatap masa depan dan keterasingan mereka menghadapi lingkungan tradisi keluarga dan kebebasan semu di negeri ini. Film ini mengangkat isu keseharian dalam kehidupan anak muda dengan gamblang dan apa adanya.
Sama halnya dengan film tersebut, siswa kelas akhir baik SMP/SMA sederajat pun mengalami hal yang sama, bedanya adalah: untuk SMA sederajat tidak 3 hari. Untuk SMK (STM dan SMEA) adalah 4 hari, sedangkan SMA 6 hari. Dalam hari-hari genting tersebut sangat menentukan masa depan siswa, tidak hanya itu termasuk juga “nama baik“. Bayangkan seandainya saja kita tidak lulus UN tingkat SMP, mau tak mau kita harus masuk SMA/SMK swasta, yang di mata masyarakat dianggap sebagai sekolah “kelas kambing” atau “tak berkelas”. Padahal, pada kenyataannya tidak sepenuhnya pendapat ini benar. Ada sekolah swasta yang justru peralatan, fasilitas, sarana, dan prasarananya lebih baik ketimbang sekolah “dalam negeri”. Siswa yang tidak lulus tadi pun akan dicap sebagai siswa yang goblok, sementara pada kenyataanya? Banyak yang lulus justru karena ia menyontek jawaban temannya yang memang pintar. Bahkan ada siswa yang memberi contekan, malah tidak lulus. Kalau hal ini terjadi, ahhhh, tidak kalau, tapi hal ini terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Bisa juga siswa yang pintar tersebut sedang “tidak beruntung”, mengapa demikian? Karena bisa saja LJK (Lembar Jawaban Komputer) siswa tersebut sobek, kotor, ataupun terlipat hal ini bisa mengakibatkan komputer error (tidak bisa membaca jawaban tersebut), kalau sudah begini jelas siswa yang jadi korban dirugikan. Satu hal lagi yang bisa menyebabkan siswa tidak lulus ujian (di luar jawaban siswa yang salah) adalah human error, misalnya penjaga salah memberikan kode soal (hal ini terjadi pada saat aku menjalani ujian produktif), petugas salah memasukkan kunci jawaban. OK, komputer yang memeriksa (yang katanya tidak mungkin melakukan kesalahan), ya dia kan benda mati tanpa punya perasaan, bagaimana kalau programmer-nya yang salah? Komputernya juga ikut salah kan? Selain itu pada tahun ini kan ada pemilu, sedikit banyak hal tersebut menggangu jalannya persiapan mengghadapi UN. Kalau tidak lulus tentu saja pemerintah tidak dirugikan dalam hal ini, tapi para siswa? Jelas sangat dirugikan. Lalu apalah artinya sekolah 12 tahun, toh pada akhirnya kita tidak lulus karena “masalah persiapan” tersebut?
Bagi mereka yang lulus ujian dengan nilai yang baik tentu saja mereka senang dan bangga, tentu saja kalau itu hasil kerja keras mereka, lah trus bagaimana denagn mereka yang menyontek? Menurutku mereka semua tidak sepatutnya memiliki kedua perasaan tersebut. Yang tidak lulus lain lagi ceritanya. Mereka tidak bisa memilih sekolah yang katanya “berkualitas” dan “bergengsi”, yang lulus dan mendapat nilai baik sich mau kemana juga diterima walaupun belum tentu itu hasil keringat mereka. Mereka tidak perduli dari mana datangnya nilai tersebut berasal, yang penting nilai baik, kesannya seolah-olah mendewa dewakan nilai. “Nih lihat nilaiku bagus itu berarti aku pintar”, kita jadi musyrik terhadap nilai, kita akan melakukan apapun untuk nilai yang baik, padahal semua itu tidak ada artinya di mataku, bagi mereka? Nilai baik, lulus SD, masuk SMP favorit, lulus, masuk SMA favorit, lulus, masuk universitas ternama, dapat gelar, memperoleh pekerjaan yang mapan, ingin menikah tinggal cari pasangan, sudah tua pensiun, istirahat, tersudut menunggu mati, heh, sungguh menyedihkan. Di dunia kita terlahir tidak seperti “pasar malam”, berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pergi. Kuda terlahir sebagai kuda, tapi kita, manusia, kita terlahir tidak sebagai manusia, tapi harus dididik untuk menjadi manusia, dan untuk menjadi manusia tidak harus menjadi orang yang pintar. Orang bodoh pun bisa menjadi manusia. Sekarang buat apa menjadi orang pintar, kaya, sukses, tetapi tidak memiliki rasa kemanusiaan, bahkan mungkin rasa kebinatangan. Kita inikan (katanya) manusia, tapi dimana rasa kemanusiaanmu terhadap sesama manusia. Lebih-lebih “pemerintah”, sudah kalian lenyapkan kemana hatimu? Berlomba-lomba menjadi “pemerintah” dengan mengobral janji-janji, begitu duduk manis, apa yang dikerjakannya? Kurasa rakyat lebih tahu jawabannya, tak perlu kujawab, lebih-lebih kujelaskan di sini.
Bapak Mendiknas, Bambang Sudibyo, bapak adalah orang pintar, kalau tidak, tidak mungkin bapak duduk di singgasana Mendiknas bukan? Tapi di mata saya semua itu kosong belaka, percuma, tak ada gunanya. Bukan karena saya dendam diberi standar kelulusan nilai, yang menurut bapak digunakan untuk menaikkan standar SDM kita. Tapi karena bapak tidak menghargai karunia yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita. Mengapa demikian? Ya, karena kita diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam keadaan “orisinil” dengan segala kekurangan dan kelebihan kita. Ada yang pintar di bidang akademis tapi goblok di bidang non akademis seperti olahraga dan musik. Kalau anda ingin  mamajukan SDM kita dalam hal akademis lalu bagaimana dengan yang non akademis? Lain halnya kalau anda membuat sekolah non akademis sejenis SMK yang tidak ada UN-nya untuk mendapatkan status lulus sesuai standar kelulusan. Tapi, tahukah anda, hal apakah yang dapat menyatukan Indonesia ke dalam satu suara tanpa terkecuali? Itu adalah olahraga dan dimungkinkan juga musik. Itu seperti dapat kita lihat ketika tim merah putih berjuang mengharumkan nama bangsa di dunia internasional (walaupun yang ada pada kenyataannya justru malah memalukan), sejelek apapun dan seburuk apapun permainan Indonesia, walaupun tidak secepat Inggris, tidak sehebat Italy, Perancis, Brazil, ataupun Argentina, tapi kita tetap mendukungnya. Kita tidak perduli sebobrok apa PSSI, sehancur apa negara kita yang penting kita dukung timnas kita. Walaupun tidak membutuhkan Ki Joko Bodo, Mama Lauren, ataupun Aline Sahertian untuk menebak apakah Indonesia akan menang atau kalah karena kita sudah tahu jawabannya (kalah) tapi kita tetap mendukung satu nama: Indonesia.
Di dunia tinju pun demikian kita juga, kita pasti akan mendukung petinju-petinju Indonesia (Chris John misalnya) walaupun tak bisa menyaksikan secara langsung dari Amerika tapi kita pasti ada di belakangnya, tak peduli apakah itu Presiden, menteri, pejabat, rakyat jelata, dokter, pengemis, pemulung, perampok, pemerkosa, PSK, gigolo mereka pasti mendukung, percayalah. Dan kalau pak menteri, dengan alasan ingin meningkatkan kualitas SDM, berniat untuk "mematikan" kelebihan seseorang dalam bidang non akademis, yang akan meghancurkan hal-hal yang dapat menyatukan Indonesia dalam satu suara, sungguh, sungguh menyedihkan. Kalau memang itu keinginanmu silahkan saja, tapi jangan pernah bermimpi untuk menyaksikan Indonesia akan harum namanya di dunia olahraga ataupun musik.

Blora, 26 Maret 2009
01:23

Sabtu, 21 Maret 2009

Tidak Memilih Adalah Pilihan


Kurang dari sebulan lagi pemilu legislatif akan digelar, lebih tepatnya 25 hari lagi, yaitu tanggal 9 April 2009. Pemilu kali ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, kalau biasanya kita mencoblos sekarang kita mencontreng. Huh, ada-ada saja saja pemerintah itu, bagiku toh sama saja mencoblos ataupun mencontreng, itu kan hanya akal-akalan pemerintah saja yang berpura-pura saja agar ada banyak rapat sehingga kelihatannya bekerja, selain itu mereka pun pasti mendapat “ jatah”.
Minggu lalu kudengar kabar terbaru seputar pemilu, yaitu partai dengan lambang pohon beringin berkoalisi dengan dengan partai pimpinan dari anak Presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Sebelumnya ia pun sempat bertemu dengan beberapa “tokoh” yang menyatakan dirinya maju sebagai calon Presiden. Di antaranya ada SSHB X, Gubernur DIY, S mantan Gubernur DKI, dan kali ini ia pun bertemu dengan ketua pimpinan partai berlambang Ka’bah, S. Ada juga partai D yang berkoalisi dengan partai yang dipimpin oleh “Presiden Survei“ (karena pada pemilu 2004 ia menjadi pemimpin perolehan suara di stasiun TV), di antara kedua koalisi ini kira-kira siapa yang akan menang? Pikir saja sendiri, selain itu, ada kabar yang mengatakan kalau Presiden kita mengalami sakit perut setelah melakukan kampanye. Kok sempet-sempetnya kampanye? Padahal dia kan Presiden, terus yang mengurus Negara ini siapa donk? Tiap hari Jum’at lagi, waduh... waduh... Tak mau kalah dengan Presidennya, wapres kita pun juga ikut-ikutan cuti, wah bisa kacau negara kita ini.
Dalam pemilu kali ini sudah banyak orang yang mendaftar jadi Presiden, mulai dari S mantan Gubernur DKI, SSHB X raja DIY, bahkan “Jenderal Nagabonar“ alias DM pun ikut meramaikan persaingan menuju RI 1. Tapi ada satu hal yang paling penting bagiku adalah dari bukan banyaknya calon, siapakah calonnya, ataupun dari mana partainya, melainkan adalah kemampuannya untuk memimpin bangsa ini. Dari dulu sampai sekarang saya merasa hanya ada satu Presiden yang berani “melawan” apa saja yang menurutnya merugikan bangsanya yang ia cintai. Ia adalah Ir. Soekarno, dalam salah satu buku pelajaran sejarah saya pernah membaca, bahwa Indonesia pernah keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Menurutku itu adalah suatu tindakan luar biasa, sangat berani, dan mungkin juga emosional. Bayangkan Indonesia yang baru memiliki usia seumur jagung sudah berani “melawan” PBB yang adalah organisasi terbesar di dunia yang merupakan hasil bentukan lima negara yang sudah lama merdeka dan bisa dikatakan memiliki pengaruh yang kuat di dunia. Siapa lagi orangnya yang berani melakukan itu semua, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Mergawati, atau mungkin SBY? Tidak ada yang berani. Di jaman globalisasi seperti sekarang ini di mana uang memiliki “kekuasaan”, tanpa adanya keberanian dan ketegasan yang tanpa pandang bulu menjadi bagian terpenting dalam hal penegakan keadilan dan kebenaran. Dengan tidak adanya dua hal tersebut, percuma saja segala manuver-manuver yang dilakukan oleh para pemerintah bangsa ini.
Dalam pemilu 2009 kali ini aku bertekad untuk tidak memilih alias golput (Golongan Putih). Alasannya, ya karena itu tadi belum ada orang yang mampu memimpin bangsa ini ke arah yang lebih baik. Sebelas tahun belakangan ini kita hanya gonti-ganti presiden saja, tapi apa hasilnya? Apa buktinya? Tanpa perlu kujawab pun pembaca tentunya lebih tahu jawabannya. Kalau nanti MUI menyatakan golput itu haram, silahkan, toh saya lebih baik melakukan suatu keharaman tapi tidak memiliki “saham dosa” terhadap bangsa Indonesia ini, ketimbang saya harus memilih salah satu calon Presiden tapi pada akhirnya (di masa pemerintahannya) ia melakukan hal-hal yang merugikan bangsa ini pada umumnya masyarakat kecil pada khususnya karena tak adanya keberanian dan ketegasan. Sekarang mana yang anda pilih, yang pertama atau yang kedua, terserah pada anda semua. Kalau toh anda berniat memilih calon Presiden, pilihlah yang menurut anda paling mampu memimpin bangsa ini, biar bagaimana pun bangsa ini harus ada yang memimpin sebab kalau tidak, maka tentunya bangsa kita adalah bangsa gelandangan.


Blora, 15 Maret 2009
00:37

Kamis, 05 Maret 2009

Sebuah Nama Sebuah Sejarah


Manusia setengah dewa, ya itulah salah satu judul lagu Iwan Fals yang menjadi kontroversi. Pun demikian halnya dengan Pramoedya Ananta Toer. Ia adalah manusia kontroversial yang menjadi maestro di bidangnya. Selain itu, menurut saya, ia lebih dari manusia kebanyakan, bahkan mungkin pantas disebut dewa. Tetapi Ia memliki kekurangan seperti halnya manusia kebanyakan pula dan ia tidak suka di dewa-dewakan. Lantas, aku harus meyebutnya apa? Apakah manusia setengah dewa? Seperti halnya lagu Iwan Fals. Dewa setengah manusia? Kebalikan dari yang sebelumnya atau mungkin aku hanya harus menyebutnya Pramoedya Ananta Toer? Nama yang selalu ia gunakan dalam menulis anak-anak rohaninya. Tapi bukan berarti Pramoedya Ananta Toer tidak memiliki nama lain yang ia gunakan sebagai nama penanya. Tercatat ia pernah menggunakan nama “P.A Toer”, “Pram A. Toer”, “Pramoedya A.T” (ketiganya merupakan nama yang disingkat dengan sistem Spanyol) atau mungkin ‘”Pr. A’Toer” (disingkat dengan sistem Irlandia). Menurut Oemi Saidah (yang merupakan ibu dari Pramoedya Ananta Toer) nama Pramoedya berasal dari kata Pra- yang berarti yang terutama atau yang paling pertama, sedang moedya berarti peperangan. Jadi nama Pramoedya berarti yang paling pertama dalam peperangan. Kata kedua adalah Ananta, yang dalam ensiklopedi Winkler Prins adalah nama ular sebagaimana mitos Hindu. Entah kebetulan, entah takdir (menurutku sama saja, tidak ada bedanya), Pram adalah salah seorang pengagum Antasena yang merupakan anak dari perkawinan antara Antaboga dengan ular. Kata ketiga adalah Toer, menurut Oemi Saidah Toer berasal dari kata Arab, nama sebuah gunung, kependekan dari Tursina. Trus kalo digabung kira-kira artinya apa donk?
BOT, back to topic (cie ileh pake bahasa Inggris), maksudnya kembali ke topik, buatku Pram adalah sosok luar biasa, tidak hanya “anak-anak rohaninya”, tetapi juga ia sendiri sebagai sedewa pribadi, eh maksudnya seorang pribadi. Ia adalah seorang pembela,  pemberontak, pelawan, dan penentang ketidakadilan itulah sebabnya aku memberikan julukan manusia setengah dewa padanya. Julukan ini tentu saja untuk menunjukkan rasa kekagumanku terhadap dirinya, terhadap apa yang telah ia lakukan untuk tanah airnya. Sebagai contoh di era kepemerintahan Gus Dur misalnya, setidaknya aku mencatat ada dua hal yang mungkin saja terpengaruh oleh “anak rohani” Pram atau akibat sejarah Pram itu sendiri. Yang pertama adalah dengan dibuatnya Departemen Kelautan dan Perikanan, menurut saya, Gus Dur membuat departemen ini karena terpengaruh oleh “anak rohani” Pram yang bernama Arus Balik. Biarpun saya belum membacanya, tapi dari sinopsis, dapat saya ambil kesimpulan: buku ini menceritakan tentang pentingnya laut bagi Indonesia, apalagi Indonesia kan negara maritim, masa pusat kekuatannya di darat, apa nggak khayal? Yang kedua adalah dengan adanya kebebasan pers, mungkin karena “anak-anak rohani”-nya Pram selalu dilarang makanya Gus Dur membuat peraturan ini.
Di masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) malah lebih nyentrik. Coba pikir dan bayangkan, masa orang yang sebelumnya tidak pernah tercatat di buku pelajaran sekolah (yang selama ini saya baca tentunya) sebagai pahlawan nasional. Kok bisa diberi penghormatan sebagai pahlawan nasional, apa nggak lebih khayal? Siapa lagi orangnya yang melakukan itu semua kalau bukan Pramoedya Ananta Toer tentunya. Ya itulah Pramoedya Ananta Toer, banyak orang yang menjadi musuhnya tapi tidak sedikit pula yang memberi penghormatan kepadanya di saat Ia “pulang kampung”, termasuk lawan-lawannya. Kini Ia telah pulang, kembali ke pangkuan ibunda tercinta, selamat tinggal, mungkin kau telah pergi tapi semangatmu telah merasuk ke dalam hati dan sanubariku. Good Bye Pram.

Blora 22 Februari 2009
20:23
Kubuat untuk mengingat pengaruh pengaruh yang telah Pram ciptakan terhadap pemerintah yang ia tentang selama hidupnya