Tiga Hari
Untuk Selamanya, sebuah judul film karya Riri Reza tentang perjalanan
dua anak muda dari Jakarta ke Jogjakarta selama tiga hari yang bercerita
tentang kegelisahan menatap masa depan dan keterasingan mereka menghadapi
lingkungan tradisi keluarga dan kebebasan semu di negeri ini. Film ini
mengangkat isu keseharian dalam kehidupan anak muda dengan gamblang dan apa
adanya.
Sama halnya dengan film tersebut,
siswa kelas akhir baik SMP/SMA sederajat pun mengalami hal yang sama, bedanya
adalah: untuk SMA sederajat tidak 3 hari. Untuk SMK (STM dan SMEA) adalah 4
hari, sedangkan SMA 6 hari. Dalam hari-hari genting tersebut sangat menentukan
masa depan siswa, tidak hanya itu termasuk juga “nama baik“. Bayangkan
seandainya saja kita tidak lulus UN tingkat SMP, mau tak mau kita harus masuk
SMA/SMK swasta, yang di mata masyarakat dianggap sebagai sekolah “kelas kambing”
atau “tak berkelas”. Padahal, pada kenyataannya tidak sepenuhnya pendapat ini
benar. Ada sekolah swasta yang justru peralatan, fasilitas, sarana, dan
prasarananya lebih baik ketimbang sekolah “dalam negeri”. Siswa yang tidak
lulus tadi pun akan dicap sebagai siswa yang goblok, sementara pada
kenyataanya? Banyak yang lulus justru karena ia menyontek jawaban temannya yang
memang pintar. Bahkan ada siswa yang memberi contekan, malah tidak lulus. Kalau
hal ini terjadi, ahhhh, tidak kalau, tapi hal ini terjadi di dunia pendidikan Indonesia.
Bisa juga siswa yang pintar tersebut sedang “tidak beruntung”, mengapa
demikian? Karena bisa saja LJK (Lembar Jawaban Komputer) siswa tersebut sobek,
kotor, ataupun terlipat hal ini bisa mengakibatkan komputer error (tidak bisa membaca jawaban tersebut),
kalau sudah begini jelas siswa yang jadi korban dirugikan. Satu hal lagi yang
bisa menyebabkan siswa tidak lulus ujian (di luar jawaban siswa yang salah)
adalah human error, misalnya penjaga
salah memberikan kode soal (hal ini terjadi pada saat aku menjalani ujian
produktif), petugas salah memasukkan kunci jawaban. OK, komputer yang memeriksa
(yang katanya tidak mungkin melakukan kesalahan), ya dia kan benda mati tanpa
punya perasaan, bagaimana kalau programmer-nya
yang salah? Komputernya juga ikut salah kan? Selain itu pada tahun ini kan ada
pemilu, sedikit banyak hal tersebut menggangu jalannya persiapan mengghadapi
UN. Kalau tidak lulus tentu saja pemerintah tidak dirugikan dalam hal ini, tapi
para siswa? Jelas sangat dirugikan. Lalu apalah artinya sekolah 12 tahun, toh
pada akhirnya kita tidak lulus karena “masalah persiapan” tersebut?
Bagi mereka yang lulus ujian dengan
nilai yang baik tentu saja mereka senang dan bangga, tentu saja kalau itu hasil
kerja keras mereka, lah trus bagaimana denagn mereka yang menyontek? Menurutku
mereka semua tidak sepatutnya memiliki kedua perasaan tersebut. Yang tidak
lulus lain lagi ceritanya. Mereka tidak bisa memilih sekolah yang katanya
“berkualitas” dan “bergengsi”, yang lulus dan mendapat nilai baik sich mau kemana juga diterima walaupun
belum tentu itu hasil keringat mereka. Mereka tidak perduli dari mana datangnya
nilai tersebut berasal, yang penting nilai baik, kesannya seolah-olah mendewa dewakan
nilai. “Nih lihat nilaiku bagus itu berarti aku pintar”, kita jadi musyrik
terhadap nilai, kita akan melakukan apapun untuk nilai yang baik, padahal semua
itu tidak ada artinya di mataku, bagi mereka? Nilai baik, lulus SD, masuk SMP
favorit, lulus, masuk SMA favorit, lulus, masuk universitas ternama, dapat
gelar, memperoleh pekerjaan yang mapan, ingin menikah tinggal cari pasangan,
sudah tua pensiun, istirahat, tersudut menunggu mati, heh, sungguh menyedihkan.
Di dunia kita terlahir tidak seperti “pasar malam”, berduyun-duyun datang dan
berduyun-duyun pergi. Kuda terlahir sebagai kuda, tapi kita, manusia, kita
terlahir tidak sebagai manusia, tapi harus dididik untuk menjadi manusia, dan
untuk menjadi manusia tidak harus menjadi orang yang pintar. Orang bodoh pun
bisa menjadi manusia. Sekarang buat apa menjadi orang pintar, kaya, sukses,
tetapi tidak memiliki rasa kemanusiaan, bahkan mungkin rasa kebinatangan. Kita
inikan (katanya) manusia, tapi dimana rasa kemanusiaanmu terhadap sesama
manusia. Lebih-lebih “pemerintah”, sudah kalian lenyapkan kemana hatimu?
Berlomba-lomba menjadi “pemerintah” dengan mengobral janji-janji, begitu duduk
manis, apa yang dikerjakannya? Kurasa rakyat lebih tahu jawabannya, tak perlu
kujawab, lebih-lebih kujelaskan di sini.
Bapak Mendiknas, Bambang Sudibyo,
bapak adalah orang pintar, kalau tidak, tidak mungkin bapak duduk di singgasana
Mendiknas bukan? Tapi di mata saya semua itu kosong belaka, percuma, tak ada
gunanya. Bukan karena saya dendam diberi standar kelulusan nilai, yang menurut
bapak digunakan untuk menaikkan standar SDM kita. Tapi karena bapak tidak
menghargai karunia yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita.
Mengapa demikian? Ya, karena kita diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam
keadaan “orisinil” dengan segala kekurangan dan kelebihan kita. Ada yang pintar
di bidang akademis tapi goblok di bidang non akademis seperti olahraga dan
musik. Kalau anda ingin mamajukan SDM
kita dalam hal akademis lalu bagaimana dengan yang non akademis? Lain halnya
kalau anda membuat sekolah non akademis sejenis SMK yang tidak ada UN-nya untuk
mendapatkan status lulus sesuai standar kelulusan. Tapi, tahukah anda, hal
apakah yang dapat menyatukan Indonesia ke dalam satu suara tanpa terkecuali? Itu
adalah olahraga dan dimungkinkan juga musik. Itu seperti dapat kita lihat
ketika tim merah putih berjuang mengharumkan nama bangsa di dunia internasional
(walaupun yang ada pada kenyataannya justru malah memalukan), sejelek apapun
dan seburuk apapun permainan Indonesia, walaupun tidak secepat Inggris, tidak
sehebat Italy, Perancis, Brazil, ataupun Argentina, tapi kita tetap
mendukungnya. Kita tidak perduli sebobrok apa PSSI, sehancur apa negara kita
yang penting kita dukung timnas kita. Walaupun tidak membutuhkan Ki Joko Bodo,
Mama Lauren, ataupun Aline Sahertian untuk menebak apakah Indonesia akan menang
atau kalah karena kita sudah tahu jawabannya (kalah) tapi kita tetap mendukung
satu nama: Indonesia.
Di dunia tinju pun demikian kita
juga, kita pasti akan mendukung petinju-petinju Indonesia (Chris John misalnya)
walaupun tak bisa menyaksikan secara langsung dari Amerika tapi kita pasti ada
di belakangnya, tak peduli apakah itu Presiden, menteri, pejabat, rakyat
jelata, dokter, pengemis, pemulung, perampok, pemerkosa, PSK, gigolo mereka
pasti mendukung, percayalah. Dan kalau pak menteri, dengan alasan ingin
meningkatkan kualitas SDM, berniat untuk "mematikan" kelebihan
seseorang dalam bidang non akademis, yang akan meghancurkan hal-hal yang dapat menyatukan
Indonesia dalam satu suara, sungguh, sungguh menyedihkan. Kalau memang itu
keinginanmu silahkan saja, tapi jangan pernah bermimpi untuk menyaksikan
Indonesia akan harum namanya di dunia olahraga ataupun musik.
Blora, 26 Maret 2009
01:23
01:23